Sukarno, Orang Kiri, Revolusi & G30S 1965

Jumat, Maret 02, 2012

Judul: Sukarno, Orang Kiri, Revolusi & G30S 1965
Kumpulan tulisan: Onghokham
Penyunting: JJ Rizal
Penyelaras: Martina Safitry & Fadly Kurniawan
Desain Isi: Sarifudin
Desain Sampul: Hartanto "Kebo" Utomo
Cetakan pertama: April 2009
Penerbit: Komunitas Bambu
Tebal: xii + 220 hlm
ISBN: 9793731524

Bahasan mengenai peristiwa 30 September 1965 (menurut Ong lebih tapat menggunakan tanggal 1 Oktober 1965) tidak habis-habisnya. Tidak adanya klarifikasi resmi dari para pelaku sejarah, membuat kita semakin terjebak dengan prasangka yang tidak berdasar. Upaya melakukan rekonstruksi sejarah bukan tidak dilakukan. Namun, dokumen-dokumen terkait sangat terbatas, serta orang-orang yang dianggap menjadi narasumber utama yang diharapkan memberikan titik terang pengungkapan sejarah masa lalu sudah tiada. Alhasil, peristiwa G30S ini menjadi masih tanda tanya besar apa dan bagaimana penyebabnya. Padahal dampaknya cukup nyata.


Melalui pengamatan dan hasil analisis, Onghokham menulis pemikirannya dalam tulisan-tulisan. Ia mengidentifikasi keadaan-keadaan yang turut memberi pemahaman kontekstual seputar tahun 1965 baik sebelum dan sesudahnya. Pertama, Soekarno memainkan politik berimbangnya antara dua pendukung besar yaitu: ABRI dan PKI. Di ABRI, ia mensinyalir ada upaya tidak menyenangkan dari petinggi AD yang tidak selaras menjalankan visi Soekarno: Revolusi. Sedangkan dari PKI, Soekarno mendapat dukungan yang luar biasa kuat, apalagi dengan menciptakan Poros Jakarta-Moskow-Peking. Di sisi tentara, hal ini merupakan ancaman, namun bagi PKI, merupakan angin segar untuk menguasai kembali perpolitikan Indonesia. Sukarno tahu pertentangan kedua kekuatan besar ini, namun di permukaan, ia masih mampu meredam pergolakan tersebut. Kedua, di daerah luar Jakarta sudah terjadi pergerakan-pergerakan yang antikomunis. Ia menyatakan bahwa di daerah Jawa, gerakan militansi antikomunis terlihat dari para pemuda kalangan Islam membentuk drum band untuk bersiap-siap menghancurkan gerakan pemuda PKI. Kenapa itu terjadi? karena di daerah terjadi gerakan yang diistilahkan "aksi sepihak" dimana terjadi ketidakadilan, kesenjangan dan permusuhan, antara lain kecurangan lurah, bentrokan antargenerasi, dan sebagainya. Para pejabat sudah menyadari hal ini, namun tidak bertindak. Ketiga, Soekarno mengeluarkan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 yang dianggap revolusioner. Isi UU tersebut antara lain memperbolehkan tiap orang hanya memiliki 5 hektar tanah. Selain itu, bagi hasil antara penggarap dan pemilik, lebih menguntungkan penggarap. Hal itu tidak menjadi masalah jika pemilik tanah memang hidup berkecukupan, namun bila tidak? tentu akan mengurangi "sumber" pemasukannya yang ujung-ujungnya si pemilik bertambah miskin.

Ong mengaitkan kondisi di atas dengan latar belakang sosial masyarakat sebelumnya. Indonesia terutama Jawa sudah memiliki sejarah ketidakmerataan kesejahteraan petani sejak dulu.. Sejarah tersebut dimulai pada era Tanam Paksa setelah Perang Diponegoro dimana pada saat itu fenomena bahwa petani bekerja mengolah lahannya namun hasilnya bukan untuk petani itu sendiri. Akibatnya, struktur sosial masyarakat menjadi berubah yaitu dengan dikenal adanya pemilik tanah dan penggarap. Selain itu dampak perubahan struktur sosial itu adalah muncul sentimen antinegara dari petani karena merasa mereka adalah korban modernisasi. Fenomena ini dianggap akan berakhir dengan datangnya Ratu Adil bagi mereka. Kehadiran organisasi yang berideologi pemerataan kesejahteraan sosial seperti Sarekat Islam dan PKI, dianggap sebagai cikal bakal gerakan Ratu Adil tersebut. PKI tercatat melakukan perlawanan fisik terhadap pemerintah dengan dukungan petani yang bermotif sosial ekonomi.

Kembali pada bahasan G30S1965, dalam tulisan Ong ini tidak menyoroti apa yang terjadi di kalangan TNI AD, seperti yang digambarkan oleh film-film propaganda orde baru. Ia menceritakan sendiri pengalamannya dalam tulisan yang sebenarnya adalah bentuk terapi atas penyakit aneh yang ia alami. Tulisan dalam bahasa Inggris tersebut disimpan oleh Ruth McVey dan ikut diterjemahkan dan menjadi tulisan terakhir buku ini. Dalam tulisan tersebut Ong menceritakan bagaimana masa kecilnya di Jawa. Antara lain ia menceritakan tentang keluarganya, kehidupan social dengan masyarakat sekitar, termasuk ketika keluarganya menginginkan dia untuk sekolah agar punya kedudukan sosial yang diperhitungkan di masyarakat. Ia mengakui dalam tulisannya bahwa ia tertarik mempelajari kesenian, agama, mistisme, dan konsep sejarah Jawa. Kenangan masa kecil sepertinya teringat kembali manakala ia menyaksikan seni pertunjukan seperti wayang yang menampilkan contoh perilaku manusia, terutama masa-masa dimana ketidakpastian akan hidup besok. Dengan konteks kehidupan pada masa itu, ia memprediksikan apa yang terjadi di panggung politik Indonesia. Karena itu ia melihat bukan dari sisi kehidupan perpolitikan, namun berdasarkan pengalaman pribadi. Ia menyaksikan sendiri kekejaman terhadap para korban komunis yang dilakukan oleh temannya. Hal itu sangat mengguncangnya terlebih terjadinya G30S1965. Ia mungkin mengalami pengalaman supranatural yang luar biasa apalagi ketika ia dipenjara, sewaktu memprotes tentara yang melarangnya masuk ke kampus UI Salemba, dengan mengatakan tentara itu fasis.

Membaca tulisan Ong ini, saya semakin bertanya-tanya, apakah kejadian pembantaian terhadap orang-orang komunis pada 1965 lalu, mirip dengan kerusuhan Mei 1998? Apakah ada kemiripan penyebab mengapa terjadi kekerasan terhadap suku tertentu dilatari karena kecemburuan ekonomi dan pemerintah tidak melihat itu sebagai permasalahan serius? Ah entahlah…saya hanya berandai-andai..
Kumpulan tulisan ini menambah wawasan kita tentang apa dan bagaimana situasi republik ini pada masa awal kemerdekaan dari sudut pandang sejarawan. Tulisannya ini bisa dikatakan sangat mudah dicerna karena gaya bahasanya yang bercerita. Pemahaman kita mungkin tidak akan terpuaskan, namun kita bisa mencoba memosisikan diri pada pelaku peristiwa atau penonton film sejarah dari membaca tulisan Ong ini. Terlepas masih ada kesimpangsiuran, biarlah itu menjadi tugas generasi kemudian untuk member pencerahan pada generasi seterusnya lagi.

Helvry | 2 Maret 2012

You Might Also Like

2 komentar