Cerita Calon Arang by Pramoedya Ananta Toer

Kamis, Juli 17, 2014



Setelah membaca dan mereview cerita Calon Arang dengan versi Femmy Syahrani, kali ini saya ingin mengupas cerita Calon Arang versi Pramoedya Ananta Toer. Inilah kekayaan sastra Nusantara. Saya berimajinasi bahwa cerita Calon Arang ini sudah diceritakan dari generasi ke generasi. Meski ada versi yang berbeda, tersembunyi pesan kemanusiaan yang luhur.

Pada pengantar buku ini, Pram sedikit mengulas bagaimana sejarah cerita Calon Arang. Cerita ini lahir ketika masa pemerintahan Prabu Airlangga sekitar abad 11. Dua tokoh besar saat itu adalah Prabu Airlangga dan Empu Bharadah. Dan menurut Pram, cerita ini dituliskan kembali untuk mengingatkan anak-anak zaman sekarang agar membangkitkan cerita lama bagi mereka, serta sebagai sumber informasi sejarah, agar lebih mengkaji isi dibanding menghafal nama tokoh dan tempat.


Cerita Calon Arang
Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara Jakarta
ISBN: 97997312105
96 hlm;13x20 cm


Sedikit Teori tentang Sastra yang saya kutip dari buku Prof Faruk yang berjudul Pengantar Sosiologi Sastra, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010:

Menurut Wellek dan Warren (1968), mengatakan bahwa karya sastra sebagai karya inovatif, imajinatif, dan fiktif. Menurut keduanya, acuan karya sastra bukanlah dunia nyata, melainkan dunia fiksi, imajinasi. Pernyataan-pernyataan yang ada di dalam berbagai genre karya sastra bukanlah proposisi-proposisi logis. Karakater di dalam karta-karya sastra bukan tokoh-tokoh sejarah dalam kehidupan nyata. Tokoh-tokoh dalam karya sastra itu merupakan hasil ciptaan atau rekaan pengarang yang muncul begitu saja, tidak mempunyai sejarah, tidak mempunya masa lalu. Ruang dan waktu dalam karta sastra pun bukan ruang dan waktu kehidupan nyata. Dalam hubungan dengan kecenderungan demikan, karya sastra juga dipahami sebagai karya kreatif, hasil ciptaan pengarang.

Sebagai tulisan, menurut Ricoeur (1981), karya secara tidak langsung tidak terelakkan keluar dari situasi dan kondisi nyata produksinya. Menurut Prof Faruk (2010), bahwa meskipun di dalam karya sastra ditemukan gambaran mengenai manusia-manusia, relasi-relasi sosial, ruang dan waktu yang serupa dengan yang ada di dalam kenyataan, sema hal itu tidak dapat mendekatkan karya sastra pada kenyataan sosial. Gambaran mengenai manusia-manusia itu, relasi-relasi itu, dan juga ruang dan waktu itu, lebih dipahami sebagai hasil rekaan belaka dari pengarang karya sastra sebagai individu, bukan sebagai sesuatu yang mengacu pada dunia sosial yang nyata. Lebih jauh, semua itu juga cenderung dipahami sebagai sebuah bangunan imajiner semata, sesuatu yang hanya hidiup dalam angan-angan sang sastrawan. Kalaupun dunia sosial yang tergambar itu dianggap mengacu pada kenyataan, kenyataan yang diacunya bukanlah kenyataan sosial, melainkan kenyataan batiniah subyektif dari sastrawannya.

Dari penjabaran teori di atas dapat disimpulkan suatu sastra adalah pemikiran kreatif pengarangnya bersifat imajinatif yang merupakan subyektifitas pengarang yang secara langsung maupun tidak langsung merupakan situasi dan kondisi pada saat produksinya.

Tokoh-tokoh dalam cerita ini antara lain sebagai berikut:
  1. Calon Arang, seorang janda dari Desa Girah di Negeri Daha. Seorang yang berilmu tinggi, pendeta perempuan Candi Dewi Durga.
  2. Ratna Manggali, anak perempuan tunggal Calon Arang, berusia 25 tahun. Ia digambarkan sangat cantik, namun tidak ada orang-orang yang mau mendekatinya, karena takut pada ibunya.
  3. Dewi Durga, Dewi sesembahan Calon Arang. Dewi Durga "merestui" Calon Arang mengirim teluh pada penduduk Desa Girah.
  4. Wedawati, Putri Mpu Bharada, yang sedih ditinggal mati ibunya dan tinggal bersama ibu tiri.
  5. Mpu Bahula, murid Mpu Bharada yang mempersunting Ratna Manggali, yang kemudian menyuruh Manggali mengambil kitab ilmu Calon Arang.
  6. Mpu Bharada, orang yang ditugasi Prabu Airlangga untuk mengalahkan Calon Arang.

Secara sekilas, perjalanan cerita Calon Arang adalah pertarungan antara Calon Arang dan Mpu Bharada yang diakhiri dengan kematian Calon Arang. Mungkin sesederhana itu, berkaitan dengan teori di atas saya coba menginterpretasi ulang dari sudut pandang versi saya sendiri:

Pertama, bersentral tokoh perempuan. Cukup banyak tokoh perempuan dalam cerita ini. Yang utama tentu saja Calon Arang. Perempuan yang memiliki ilmu sakti yang bisa mengirimkan teluh. Dewi Durga, Dewi sesembahan Calon Arang yang memberi kesaktian pada Calon Arang untuk membuat penyakit aneh di Dusun Girah; Wedawati, putri Mpu Bharada yang kemudian menjadi gadis pertapa; Ratna Manggali, putri tunggal Calon Arang yang cantik yang sedang mendambakan suami; ibu tiri Wedawati (tanpa nama), yang lebih mengutamakan anak kandungnya daripada Wedawati. Semua tokoh perempuan pada dasarnya mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari masyarakatnya. Seperti hukum aksi-reaksi, atas perlakuan yang mereka terima, mereka meresponnya dengan berbagai tindakan. Calon Arang (yang cerdas) merespon gosip miring atas dia dan anaknya dengan mengirimkan teluh ke seluruh penduduk desa, Dewi Durga mengalami perlakuan tidak adil dari suaminya Batara Guru yang menyumpahinya (referensi Wikipedia: Batara Kala ) dengan memberi izin kepada Calon Arang mengirimkan teluh; Wedawati merespons pengusiran oleh ibu tirinya dengan menyendiri ke pekuburan ibunya dan menjadi pertapa; ibu tiri Wedawati merespon status istri kedua Mpu Bharada dengan mengamankan kedudukannya; Ratna Manggali merespon lamaran Bahula, karena khawatir dikatakan perawan tua. Hal ini cukup umum terjadi di masyarakat kita akan pemarjinalan hak-hak perempuan, termasuk stereotipe yang dilekatkan pada mereka. Bentuk-bentuk respon demikian dapat saya interpretasikan sebagai bentuk pertahanan hidup dan bentuk perlawanan (agar tetap hidup).

Kedua, jika Bharada mengarang cerita ini untuk menjelaskan keagungan Prabu Airlangga serta sejarah terbaginya Kerajaan Kediri, maka ia perlu tokoh (yang perlu dikorbankan) dalam hal ini Calon Arang. Justru cara ia mengalahkan Calon Arang, dengan cara tidak "gentleman" yaitu mencuri kitab ilmu Calon Arang melalui muridnya alih-alih menemukan sendiri cara yang jitu (misalnya negosiasi). Selain itu ketika Calon Arang mengiba padanya agar dihapuskan dosa dan kesalahannya, Mpu Bharada menolaknya dengan alasan sudah terlalu banyak dosa Calon Arang, sehingga Calon Arang harus mati dulu. Cerita ini terlalu berpihak pada kemenangan yang "putih" alih-alih pertobatan yang "hitam."  

Ketiga, pendekatan penyelesaian masalah oleh Prabu Airlangga memakai metode kekerasan. Pada periode pertama, ia mengirimkan balatentaranya untuk memusnahkan Calon Arang, tanpa memvalidasi terlebih dahulu kebenaran berita itu serta mengidentifikasi apa penyebab-penyebabnya. Airlangga menggunakan pendekatan perang alih-alih pendekatan pengadilan. Namun, bila kembali ke konteks kehidupan sosial pada masa itu, boleh jadi pemusnahan musuh negara (meski itu warga negara sendiri) masih dapat dibenarkan.

Keempat, ada pelajaran menarik yang disisipkan oleh pengarang cerita ini (ataukah oleh Pram sendiri?) bahwa ketika Wedawati mempelajari kitab-kitab dari ayahnya, Mpu Bharada, ia turut mempelajari ilmu lain
...Ia (Mpu Bharada) mempelajari berpuluh-puluh kitab. Bila hari telah malam, diajarinya Wedawati berbagai ilmu. Tidak satu ilmu yang diajarkan. Banyak juga. Wedawati harus belajar ilmu bumi, ilmu budi pekerti, bahkan juga filsafat. Sang Empu ingin anaknya pandai dan cerdas. Ia pun ingin anaknya tenang dan selalu tenteram hatinya (h.52).  Mungkin inilah konsep homeschooling versi zaman itu. Orang tua mengerti benar apa yang menjadi kebutuhan pendidikan anaknya. Menyeimbangkan antara ilmu pengetahuan, budi pekerti, dan berfilsafat. Hal ini yang sekarang ini mungkin memprihatinkan di tengah dunia pendidikan anak yang hanya menitikberatkan pada kecerdasan sains namun mengabaikan nilai-nilai sosial serta apresiasi pada sesama dan lingkungan.  



Dari menginterpretasi ulang atas kisah Calon Arang, banyak Seniman/Seniwati menuangkannya dalam berbagai karya seni. Di situs http://www.saritaksu.com/ca-art.htm, beberapa karya lukis yang menggambarkan Calon Arang bersama putrinya, Ratna Manggali

Ni Putu Suriati
Ratna Manggali Dreams of a Lover
Acrylic on Paper, 38cmx22cm

 
I.G.P.A. Mirah Rahmawati, S.Sn
The Treachery of a Daughter 
Oil on Canvas, 90cmx90cm

Dari Buku Kuntowijoyo (Penjelasan Sejarah, 2008), pada dasarnya sejarah  tidak memiliki periodisasi, periodisasi hanya merupakan konseptualisasi sejarawan, suatu rasionalisasi. Karena itu, (menurut saya) baik sejarah maupun cerita fiksi sekalipun perlu dipahami dan dimengerti pesan dan maknanya dengan konteks kekinian, agar kita sendiri memperoleh pemahaman dan kebijaksanaan dari suatu sejarah/cerita.

Bandung, 17 Juli 2014

Helvry

You Might Also Like

1 komentar