Buku ini merupakan kumpulan esei sastra oleh Katrin Bandel tentang sastra di Indonesia. St. Sunardi menyatakan bahwa buku ini hadir sebagai respon atas ketidakadilan para pengamat dan penikmat sastra di Indonesia atas karya-karya yang ditulis oleh pengarang perempuan. St. Sunardi menambahkan bahwa kekuatan tulisan Katrin adalah bobot kritik yang cukup kuat, bahkan mendekati polemik. Tentu kita sebagai penikmat sastra, perlu belajar kritik sastra untuk berdiri pada argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan, agar kita berlatih untuk adil berpendapat.
Politik Sastra
Politik sastra sudah ada sejak zaman dahulu. Adanya komisi untuk Bacaan Sekolah dan Rakyat Pribumi (Commissie voor de Inlandsche Acholl-en Volkslectuur) yang menjadi cikal bakal Balai Pustaka, memilih dan memilah jenis bacaan untuk masyarakat eliti yang jumlahnya terbatas. Pada saat itu sudah bermunculan penerbit swasta milik peranakan Tionghoa, antara 1903-1928 yang telah menerbitkan seratusan novel. Bandingkan dengan Balai Pustaka hanya menerbitkan 20an novel dalam periode yang sama.Sebut saja sastra seperti Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Sengsara Membawa Nikmat, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Belenggu, Nyanyi Sunyi. Novel-novel seperti itu dianggap berkelas sastra tinggi untuk dibaca. Direktur Balai Pustaka saat itu, Dr. D.A. Rinkes telah menyadari 'bahaya' bacaaan yang mencerdaskan masyarakat, mengultimatum bahwa bacaan diluar Balai Pustaka adalah bacaan liar. Ini merupakan politik sastra Indonesia dari zaman dulu, dengan pendekatan kekuasaan membatasi masuk dan beredarnya bacaan-bacaan di luar paham/ideologi penguasa.
Pramoedya Ananta Toer telah menggugat kemapanan angkatan-angkatan pujangga seperti Angkatan Pujangga Baru, Angkatan Balai Pustaka. Menurutnya, aliran sastra yang lebih realis adalah aliran sastra seperti yang ia majukan pada saat itu. Namun, kompilasi karya ‘tandingan’ Pramoedya baru muncul setelah ia dibebaskan dari Pulau Buru. Sebut saja karangan Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia serta kumpulan Cerita Dari Digul. Selain itu barubelakangan dikenal Student Hidjo karangan Mas Marco Kartodikromo, dan novel Hikayat Kadiroen karya Semaoen.
Hal ini senada dengan apa yang ditulis oleh Savitri dalam buku Pramoedya Ananta Toer: Luruh Dalam Ideologi, bahwa ada 'pertentangan' antara kelompok kritikus sastra yang menamakan dirinya Gelanggang serta lembaga kebudayaan bentukan PKI: Lekra. Kelompok Gelanggang umumnya terdiri dari orang-orang berpendidikan tinggi dan pemikirannya berorientasi ke barat, sementara Lekra sebaliknya, terdiri dari orang yang tidak berkecukupan dan tulisan-tulisannya mencerminkan kebudayaan lokal. Dalam buku ini, Katrin membandingkan penceritaan tentang Nyai berdasarkan buku Novel Nyai Dasima karangan G. Francis dan Nyai Ontosoroh berdasarkan Bumi Manusia dan lanjutannya. Peran Nyai dalam kedua novel tersebut sangat berbeda. Bahwa berdasarkan Pramoedya, pengalaman hidup Nyai Ontosoroh yang keras, ia memanfaatkan hal-hal baru untuk mencerdaskan kehidupan dan masa depannya. serta sebagai simbol perlawanan konstruksi sosial masyarakat kolonial. sementara berdasarkan G. Francis, Nyai Dasima memiliki stigma sebagai orang yang terpinggirkan dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat kolonial.
Sastra Koran
Sastra koran merupakan fenomena yang dilihat oleh Katrin sebagai suatu ajang apresiasi seni sastra di koran minggu nasional. Seperti ada kesepakatan bersama, banyak koran nasional yang menyiapkan rubrik sastra pada media koran cetak setiap hari minggu secara serentak. Persoalannya adalah terlihat esei-esei sastra dalam koran minggu tersebut ditujukan pada komunitas sastra, bukan pada pembaca umum. Katrin membandingkan dengan situasi di Jerman. Koran Jerman umumnya tetap menampilkan rubrik sastra, namun dikemas dalam tulisan menarik dan perlu dibaca, sementara bacaan sastra sendiri tetap berlangsung. Persoalan lain yang diutarakan Katrin adalah bahwa redaktur halaman sastra di koran umumnya tidak memiliki kriteria yang jelas dan baku untuk 'meloloskan' karya yang diterbitkan di koran. Tidak ada kemampuan khusus menjadi seorang redaktur untuk menyeleksi banyaknya karya yang masuk untuk diterbitkan di koran.
Bila ditelusuri ke sejarah penerbitan di Indonesia, terbitnya surat kabar pada zaman kolonial merupakan kebutuhan penduduk golongan Tionghoa yang berprofesi sebagai pedagang. Mereka membutuhkan informasi seperti daftar harga komoditas, jadwal kedatangan dan keberangkatan dalam rangka memperlancar usaha mereka. Selanjutnya, perkembangan bahasa Melayu yang cukup signifikan menuntut tersedianya bahan bacaan untuk memperlancar kemahiran berbahasa Melayu. Muncullah surat kabar, majalah yang dikelola oleh golongan peranakan Tionghoa dan mendorong munculnya perkembangan sastra yang didominasi para pengarang Tionghoa, dan salah satu media penulisannya melalui surat kabar.
Situasi tersebut berlangsung hingga saat ini, sepertinya tinggal melanjutkan tradisi. Namun, bila dahulu yang disasar adalah pembaca umum (yang dianggap tidak berkelas tinggi), sekarang pembacanya adalah masyarakat umum. Persoalannya adalah saat ini teknologi digital sepertinya belum menjadi wadah alternatif bagi sastrawan untuk berkreasi lewat tulisannya, koran masih menjadi pilihan favorit. Hal ini sesungguhnya dapat diwadahi dengan membuat suatu portal sastra, dimana tulisan-tulisan dapat diposting dalam website atau forum yang dapat dibaca semua orang dan didiskusikan. Memang, menjadi suatu kebanggaan tersendiri bila suatu cerpen, puisi, atau esei dapat dimuat di koran. Hal itu merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Memang, tidak dapat dipungkiri bahwa koran lebih 'terkenal' daripada jurnal sastra, dan lagi jalur pembacanya adalah pembaca umum. Namun, keterbatasan halaman koran membuat banyak tulisanyang 'tidak layak terbit' tidak perlu menjadi 'tidak layak baca'. Dengan adanya media teknologi alternatif, semua karya patut diketahui banyak orang, dan didiskusikan. Persoalan ini seperti masih dan terus berlangsung. Saya sendiri mengamati, bahwa tulisan/esei sastra di koran seperti Kompas dan Pikiran Rakyat, tidak dibuat dalam suatu wadah khusus secara bersama-sama, sepertinya benar apa yang dikatakan Katrin, bahwa pembacanya adalah komunitas tertentu saja, bukan pembaca awam-yang patut diedukasi.
Pascakolonialitas
Persoalan pascakolonialitas turut mempengaruhi pengarang Indonesia. Kesimpulan Katrin bahwa pengarang perempuan Indonesia tidak tertarik pada isu pascakolonialitas. Secara sederhana, teori pascakolonial adalah dampak kolonial yang dirasakan masyarakat jajahan. Dengan sastra, struktur kolonialisme menunjukkan dominasi bangsa penjajah pada bangsa terjajah melalui pendidikan, imperialisme, rasisme seharusnya dapat dibongkar.
Selain itu, adanya represi sosial yang dialami pengarang perempuan dalam persoalan budaya lokal, seperti dalam judul esei Ince** Wayan Artika, ia dikeluarkan dari desa adat selama lima tahun, karena dianggap menyinggung desa lokal dimana setting cerita novelnya. Mengkritisi kembali budaya atau adat yang sudah mapan dalam suatu masyarakat adalah bentuk sastrawan dalam mewujudkan idealismenya. Namun, sastrawan entah disadari atau tidak, harus pintar menggiring pesan kepada pembaca dengan cerita yang mulus, seperti Ahmad Tohari.
Terkait dengan perempuan dan seks, esei panjang Religisiutas dalam Novel Tiga Pengarang Perempuan Indonesia, Vagina yang haus sperma: Heteronormatifitas dan Falosentrisme Ayu Utami, dan Nayla: Potret Sang Pengarang Perempuan sebagai Selebriti merupakan 'makanan' bacaan bergizi tinggi untuk melihat sejauh apa tema perempuan dan seks menjadi pilihan oleh pengarang perempuan. Kesimpulan yang dapat diambil adalah sensasi seputar perempuan dan seks merugikan sastra Indonesia. Kenapa? saya anjurkan untuk membaca lebih lengkap.
Hal lain yang dibahas oleh Katrin adalah kaitan antara literatur dan dunia kesehatan. Hal itu menjadi perhatian Katrin bahwa terdapat perbedaan pandangan antara tradisional dengan modernitas di Eropa dan di Indonesia. Katrin mengulas karya sastra yang mempersoalkan pandangan tradisional dan dunia medis modern terkait dengan kesehatan. Ia membandingkan Novel Lourdes karangan ...dengan beberapa karangan di Indonesia yang menceritakan tentang praktik perdukunan. Novel yang dimaksud antara lain Ni Rawit,Jalan Lain ke Roma. Dilihat dari fenomena adalah karangan lourdes berhasil mengusik gereja (pada saat itu) dan novel :ourdes dinyatkaan ‘menang’ karena lebih mengedepankan fakta dibanding imajinasi. Sedangkan karya sastra Indonesia terkesan tidak mempersoalkan secara mendasar kekurangan praktik perdukunan (atau kesehatan). Catatan menarik dari Katrin adalah bahwa mantra-mantra merupakan karya sastra juga.
Sesungguhnya, semangat apa yang dapat kita ambil? yaitu kekritisan akan bacaan. Katrin menawarkan cara pandang berbeda dalam memaknai suatu karya. Pada dasarny, sastrawan-pembaca-penerbit-redaktur surat kabar- merupakan bagian dari masyarakat yang bergiat. Ditilik dari sejarah masa lalu-hingga sekarang-disadari bahwa gerakan melawan pembodohan sangat diwaspadai pihak penguasa, seharusnya tidak meninabobokan kita dengan bacaan-bacaan yang dilabeli best seller, sastra tinggi, sastra rendahan, buku yang diakui, dan sebagainya. Tugas pembaca adalah memaknai kembali setiap bacaan dengan pengalaman berbeda. Pada dasarnya, tulisan yang baik tak akan lekang dimakan waktu, seiring dengan pengalaman membaca dan mengkritisi, kita akan dapat membedakannya. Dan Katrin menawarkan pengalaman baru yang patut kita ketahui.
Judul: Sastra, Perempuan, dan Seks oleh Katrin Bandel
Pengantar: St Sunardi (Universitas Sanata Dharma Yogyakarta)
Penerbit Jalasutra, 2006
tebal xxii+146 hlm
Politik Sastra
Politik sastra sudah ada sejak zaman dahulu. Adanya komisi untuk Bacaan Sekolah dan Rakyat Pribumi (Commissie voor de Inlandsche Acholl-en Volkslectuur) yang menjadi cikal bakal Balai Pustaka, memilih dan memilah jenis bacaan untuk masyarakat eliti yang jumlahnya terbatas. Pada saat itu sudah bermunculan penerbit swasta milik peranakan Tionghoa, antara 1903-1928 yang telah menerbitkan seratusan novel. Bandingkan dengan Balai Pustaka hanya menerbitkan 20an novel dalam periode yang sama.Sebut saja sastra seperti Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Sengsara Membawa Nikmat, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Belenggu, Nyanyi Sunyi. Novel-novel seperti itu dianggap berkelas sastra tinggi untuk dibaca. Direktur Balai Pustaka saat itu, Dr. D.A. Rinkes telah menyadari 'bahaya' bacaaan yang mencerdaskan masyarakat, mengultimatum bahwa bacaan diluar Balai Pustaka adalah bacaan liar. Ini merupakan politik sastra Indonesia dari zaman dulu, dengan pendekatan kekuasaan membatasi masuk dan beredarnya bacaan-bacaan di luar paham/ideologi penguasa.
Pramoedya Ananta Toer telah menggugat kemapanan angkatan-angkatan pujangga seperti Angkatan Pujangga Baru, Angkatan Balai Pustaka. Menurutnya, aliran sastra yang lebih realis adalah aliran sastra seperti yang ia majukan pada saat itu. Namun, kompilasi karya ‘tandingan’ Pramoedya baru muncul setelah ia dibebaskan dari Pulau Buru. Sebut saja karangan Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia serta kumpulan Cerita Dari Digul. Selain itu barubelakangan dikenal Student Hidjo karangan Mas Marco Kartodikromo, dan novel Hikayat Kadiroen karya Semaoen.
Hal ini senada dengan apa yang ditulis oleh Savitri dalam buku Pramoedya Ananta Toer: Luruh Dalam Ideologi, bahwa ada 'pertentangan' antara kelompok kritikus sastra yang menamakan dirinya Gelanggang serta lembaga kebudayaan bentukan PKI: Lekra. Kelompok Gelanggang umumnya terdiri dari orang-orang berpendidikan tinggi dan pemikirannya berorientasi ke barat, sementara Lekra sebaliknya, terdiri dari orang yang tidak berkecukupan dan tulisan-tulisannya mencerminkan kebudayaan lokal. Dalam buku ini, Katrin membandingkan penceritaan tentang Nyai berdasarkan buku Novel Nyai Dasima karangan G. Francis dan Nyai Ontosoroh berdasarkan Bumi Manusia dan lanjutannya. Peran Nyai dalam kedua novel tersebut sangat berbeda. Bahwa berdasarkan Pramoedya, pengalaman hidup Nyai Ontosoroh yang keras, ia memanfaatkan hal-hal baru untuk mencerdaskan kehidupan dan masa depannya. serta sebagai simbol perlawanan konstruksi sosial masyarakat kolonial. sementara berdasarkan G. Francis, Nyai Dasima memiliki stigma sebagai orang yang terpinggirkan dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat kolonial.
Sastra Koran
Sastra koran merupakan fenomena yang dilihat oleh Katrin sebagai suatu ajang apresiasi seni sastra di koran minggu nasional. Seperti ada kesepakatan bersama, banyak koran nasional yang menyiapkan rubrik sastra pada media koran cetak setiap hari minggu secara serentak. Persoalannya adalah terlihat esei-esei sastra dalam koran minggu tersebut ditujukan pada komunitas sastra, bukan pada pembaca umum. Katrin membandingkan dengan situasi di Jerman. Koran Jerman umumnya tetap menampilkan rubrik sastra, namun dikemas dalam tulisan menarik dan perlu dibaca, sementara bacaan sastra sendiri tetap berlangsung. Persoalan lain yang diutarakan Katrin adalah bahwa redaktur halaman sastra di koran umumnya tidak memiliki kriteria yang jelas dan baku untuk 'meloloskan' karya yang diterbitkan di koran. Tidak ada kemampuan khusus menjadi seorang redaktur untuk menyeleksi banyaknya karya yang masuk untuk diterbitkan di koran.
Bila ditelusuri ke sejarah penerbitan di Indonesia, terbitnya surat kabar pada zaman kolonial merupakan kebutuhan penduduk golongan Tionghoa yang berprofesi sebagai pedagang. Mereka membutuhkan informasi seperti daftar harga komoditas, jadwal kedatangan dan keberangkatan dalam rangka memperlancar usaha mereka. Selanjutnya, perkembangan bahasa Melayu yang cukup signifikan menuntut tersedianya bahan bacaan untuk memperlancar kemahiran berbahasa Melayu. Muncullah surat kabar, majalah yang dikelola oleh golongan peranakan Tionghoa dan mendorong munculnya perkembangan sastra yang didominasi para pengarang Tionghoa, dan salah satu media penulisannya melalui surat kabar.
Situasi tersebut berlangsung hingga saat ini, sepertinya tinggal melanjutkan tradisi. Namun, bila dahulu yang disasar adalah pembaca umum (yang dianggap tidak berkelas tinggi), sekarang pembacanya adalah masyarakat umum. Persoalannya adalah saat ini teknologi digital sepertinya belum menjadi wadah alternatif bagi sastrawan untuk berkreasi lewat tulisannya, koran masih menjadi pilihan favorit. Hal ini sesungguhnya dapat diwadahi dengan membuat suatu portal sastra, dimana tulisan-tulisan dapat diposting dalam website atau forum yang dapat dibaca semua orang dan didiskusikan. Memang, menjadi suatu kebanggaan tersendiri bila suatu cerpen, puisi, atau esei dapat dimuat di koran. Hal itu merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Memang, tidak dapat dipungkiri bahwa koran lebih 'terkenal' daripada jurnal sastra, dan lagi jalur pembacanya adalah pembaca umum. Namun, keterbatasan halaman koran membuat banyak tulisanyang 'tidak layak terbit' tidak perlu menjadi 'tidak layak baca'. Dengan adanya media teknologi alternatif, semua karya patut diketahui banyak orang, dan didiskusikan. Persoalan ini seperti masih dan terus berlangsung. Saya sendiri mengamati, bahwa tulisan/esei sastra di koran seperti Kompas dan Pikiran Rakyat, tidak dibuat dalam suatu wadah khusus secara bersama-sama, sepertinya benar apa yang dikatakan Katrin, bahwa pembacanya adalah komunitas tertentu saja, bukan pembaca awam-yang patut diedukasi.
Pascakolonialitas
Persoalan pascakolonialitas turut mempengaruhi pengarang Indonesia. Kesimpulan Katrin bahwa pengarang perempuan Indonesia tidak tertarik pada isu pascakolonialitas. Secara sederhana, teori pascakolonial adalah dampak kolonial yang dirasakan masyarakat jajahan. Dengan sastra, struktur kolonialisme menunjukkan dominasi bangsa penjajah pada bangsa terjajah melalui pendidikan, imperialisme, rasisme seharusnya dapat dibongkar.
Selain itu, adanya represi sosial yang dialami pengarang perempuan dalam persoalan budaya lokal, seperti dalam judul esei Ince** Wayan Artika, ia dikeluarkan dari desa adat selama lima tahun, karena dianggap menyinggung desa lokal dimana setting cerita novelnya. Mengkritisi kembali budaya atau adat yang sudah mapan dalam suatu masyarakat adalah bentuk sastrawan dalam mewujudkan idealismenya. Namun, sastrawan entah disadari atau tidak, harus pintar menggiring pesan kepada pembaca dengan cerita yang mulus, seperti Ahmad Tohari.
Terkait dengan perempuan dan seks, esei panjang Religisiutas dalam Novel Tiga Pengarang Perempuan Indonesia, Vagina yang haus sperma: Heteronormatifitas dan Falosentrisme Ayu Utami, dan Nayla: Potret Sang Pengarang Perempuan sebagai Selebriti merupakan 'makanan' bacaan bergizi tinggi untuk melihat sejauh apa tema perempuan dan seks menjadi pilihan oleh pengarang perempuan. Kesimpulan yang dapat diambil adalah sensasi seputar perempuan dan seks merugikan sastra Indonesia. Kenapa? saya anjurkan untuk membaca lebih lengkap.
Hal lain yang dibahas oleh Katrin adalah kaitan antara literatur dan dunia kesehatan. Hal itu menjadi perhatian Katrin bahwa terdapat perbedaan pandangan antara tradisional dengan modernitas di Eropa dan di Indonesia. Katrin mengulas karya sastra yang mempersoalkan pandangan tradisional dan dunia medis modern terkait dengan kesehatan. Ia membandingkan Novel Lourdes karangan ...dengan beberapa karangan di Indonesia yang menceritakan tentang praktik perdukunan. Novel yang dimaksud antara lain Ni Rawit,Jalan Lain ke Roma. Dilihat dari fenomena adalah karangan lourdes berhasil mengusik gereja (pada saat itu) dan novel :ourdes dinyatkaan ‘menang’ karena lebih mengedepankan fakta dibanding imajinasi. Sedangkan karya sastra Indonesia terkesan tidak mempersoalkan secara mendasar kekurangan praktik perdukunan (atau kesehatan). Catatan menarik dari Katrin adalah bahwa mantra-mantra merupakan karya sastra juga.
Sesungguhnya, semangat apa yang dapat kita ambil? yaitu kekritisan akan bacaan. Katrin menawarkan cara pandang berbeda dalam memaknai suatu karya. Pada dasarny, sastrawan-pembaca-penerbit-redaktur surat kabar- merupakan bagian dari masyarakat yang bergiat. Ditilik dari sejarah masa lalu-hingga sekarang-disadari bahwa gerakan melawan pembodohan sangat diwaspadai pihak penguasa, seharusnya tidak meninabobokan kita dengan bacaan-bacaan yang dilabeli best seller, sastra tinggi, sastra rendahan, buku yang diakui, dan sebagainya. Tugas pembaca adalah memaknai kembali setiap bacaan dengan pengalaman berbeda. Pada dasarnya, tulisan yang baik tak akan lekang dimakan waktu, seiring dengan pengalaman membaca dan mengkritisi, kita akan dapat membedakannya. Dan Katrin menawarkan pengalaman baru yang patut kita ketahui.
Nonfiksi
Produsen Ontbijt Walanda Bandoeng by Soedarso Katam [Secret Santa 2015}
Sabtu, Januari 30, 2016Apa menu sarapan Anda setiap hari? sudahkah memperhitungkan jumlah kalori dengan aktivitas yang akan dijalani? bagaimana komposisi karbohidrat dan vitaminnya, apakah sudah sesuai?
Dalam keseharian, saya sering mengabaikan pertanyaan-pertanyaan di atas. Terkadang sarapan merupakan aktivitas yang terkondisikan alih-alih sebagai suatu kebutuhan. Yang dimaksud aktivitas terkondisikan adalah karena suatu hal, maka sarapan menjadi harus dan terjadwal. Biasanya dulu karena saya menginap di hotel yang menyediakan sarapan; karena saya sedang mengikuti diklat yang menjadwalkan sarapan; karena ikut ajakan teman; dan sebagainya. Selebihnya karena memang lapar kalau nggak sarapan. Tapi memang, dengan sarapan yang cukup dan segelas kopi, membuat saya pada pagi hari menjadi siap untuk beraktivitas sampai siang.
Produsen Ontbijt Walanda Bandoeng
Sudarsono Katam
Penerbit Khazanah Bahari (Juli 2014)
Buku berdampingan dengan sarapan saya yang dobel karbo |
Buku ini merupakan pengenalan akan menu-menu sarapan orang Belanda tempo dulu di Bandung. Pada bagian awal buku ini diuraikan sekilas tentang muatan suatu sarapan, misalnya karbohidrat seberapa banyak, protein seberapa banyak. Dari situ saya mengetahui bahwa roti dan susu merupakan makanankhas Eropa yang dibawa ke Bandung. Dapat disimpulkan bahwa lidah orang Belanda zaman dulu tetap tidak bisa pindah dari negeri asalnya, dan tetap membawanya ke Bandung. Selain itu saya mengetahui bahwa biskuit speculas merupakan kombinasi makanan Eropa dan Indonesia, karena biskuit merupakan makanan dari Eropa, sedangkan kayu manis merupakan produk Indonesia.
Pada bagian selanjutnya, dijelaskan mengenai tempat-tempat makan yang biasa dikunjungi Orang Belanda tempo dulu di Bandung. Sekilas kebanyakan di seputaran Jalan Braga, Bandung. Beberapa foto zaman dulu turut ditampilkan. Sayang sekali penataan foto menurut saya kurang menarik. Foto-foto yang ditampilkan kurang greget informasinya. Mungkin karena sudah saya bandingkan dengan bukunsejenis yang menulis sejarah suatu tempat. Contoh buku yang bagus menuliskan hal seperti itu menurut saya antara lain buku-buku sejarah jakarta karya Adolf Heuken, SJ.
Buku bersama pernak-pernik dari Negeri Sakura |
Bagaimanapun buku ini enak dibaca. Menyusuri kembali tempat-tempat yang disebutkan dalam buku ini di Bandung, saya membayangkan suasana sarapan di suatu pagi di masa lampau. Beberapa tempat di Jalan Braga yang disebutkan dalam buku ini sudah berubah, ada yang sudah jadi pertokoan, bahkan sisa-sisa pernah sebagai toko kue atau toko roti sudah tidak ada.
Sayang sekali, review buku ini tidak dapat saya sajikan lengkap karena bukunya tertinggal di Bandung, sementara seminggu yang lalu tersita dengan kesibukan yang luar biasa, sementara hari ini batas terakhir postingnya. Tetapi buku ini sangat luar biasa.
Tebak Santa
Seperti dalam postingan sebelumnya, bahwa buku ini adalah hadiah dari Santa dalam program Secret Santa 2015 oleh Divisi Event. Dari teka-teki yang diberikan kepada saya, saya mencoba menganalisis dan berusaha mencari kaitan huruf yang diberikan. Namun, saya gagal mengidentifikasi siapa Santa saya.
Dear Santa,
terima kasih banyak. Semoga bertambah berkat dan semakin banyak berbagi dan bertambah bacaan
Salam,
Helvry
Nonfiksi
Buku Apresiasi Puisi: Bilangnya Begini, Maksudnya Begitu | Sapardi Djoko Damono
Selasa, Desember 22, 2015
Bilangnya Begini, Maksudnya Begitu
Buku Apresiasi Puisi
Sapardi Djoko Damono
PT Gramedia Pustaka Utama 2014
ISBN: 978-602-03-1122-7
Dari subjudul buku ini cukup jelas bahwa buku ini merupakan Buku Apresiasi Puisi. Sebelum membedah buku ini, saya ingin mengetahui pengertian istilah-istilah yang menjadi batasan pengertian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online,
1. pengertian apresiasi
apresiasi/ap•re•si•a•si/ /aprésiasi/ n 1 kesadaran terhadap nilai seni dan budaya; 2 penilaian (penghargaan) terhadap sesuatu; 3 kenaikan nilai barang karena harga pasarnya naik atau permintaan akan barang itu bertambah;
berapresiasi/ber•a•pre•si•a•si/ v mempunyai apresiasi; ada apresiasi;
mengapresiasi/meng•ap•re•si•a•si/ v melakukan pengamatan, penilaian, dan penghargaan (misalnya terhadap karya seni)
2. pengertian puisi
puisi/pu•i•si/ n 1 ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait; 2 gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus; 3 sajak;
-- bebas puisi yang tidak terikat oleh rima dan matra, dan tidak terikat oleh jumlah larik dalam setiap bait, jumlah suku kata dalam setiap larik;
-- berpola puisi yang mencakupi jenis sajak yang susunan lariknya berupa bentuk geometris, seperti belah ketupat, jajaran genjang, bulat telur, tanda tanya, tanda seru, ataupun bentuk lain;
-- dramatik Sas puisi yang memiliki persyaratan dramatik yang menekankan tikaian emosional atau situasi yang tegang;
-- lama puisi yang belum dipengaruhi oleh puisi Barat, seperti pantun, gurindam, syair, mantra, dan bidal;
-- mbeling sajak ringan yang tujuannya membebaskan rasa tertekan, gelisah, dan tegang; sajak main-main;
berpuisi/ber•pu•i•si/ v membaca(kan) puisi;
memuisikan/me•mu•i•si•kan/ v membuat atau menggubah menjadi bentuk puisi: dia berusaha ~ gambar;
pemuisian/pe•mu•i•si•an/ n perihal mengubah (pengubahan) bentuk bahasa prosa menjadi puisi
Dari dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa apresiasi puisi merupakan bentuk kesadaran atau penghargaan terhadap nilai suatu ragam sastra yang dipilih secara cermat untuk mempertajam kesadaran akan pengalaman (tertentu).
Suatu apresiasi tidak muncul sendiri. Apresiasi diikuti dengan pemahaman atau pengetahuan atas obyek yang diapresiasi. Bagaimana memperoleh pemahaman atau pengetahuan tersebut disajikan dalam buku ini dalam bahasa yang sederhana dan tidak njelimet dengan teori-teori sastra. Dalam pembukanya, Sapardi menjelaskan bahwa ia berusaha menjelaskan alat atau muslihat yang biasa digunakan oleh penyair dalam puisinya. Apakah suatu alat tersebut adalah bagian dari teori atau merujuk pada teori sastra tertentu, bukan merupakan lingkup penjelasannya. Hal yang penting menurut Sapardi adalah pengenalan terhadap karya sastranya, bukan pada penyairnya, karena itulah yang mendasari penafsiran, penilaian, dan apresiasi itu sendiri.
Buku Apresiasi Puisi
Sapardi Djoko Damono
PT Gramedia Pustaka Utama 2014
ISBN: 978-602-03-1122-7
Dari subjudul buku ini cukup jelas bahwa buku ini merupakan Buku Apresiasi Puisi. Sebelum membedah buku ini, saya ingin mengetahui pengertian istilah-istilah yang menjadi batasan pengertian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online,
1. pengertian apresiasi
apresiasi/ap•re•si•a•si/ /aprésiasi/ n 1 kesadaran terhadap nilai seni dan budaya; 2 penilaian (penghargaan) terhadap sesuatu; 3 kenaikan nilai barang karena harga pasarnya naik atau permintaan akan barang itu bertambah;
berapresiasi/ber•a•pre•si•a•si/ v mempunyai apresiasi; ada apresiasi;
mengapresiasi/meng•ap•re•si•a•si/ v melakukan pengamatan, penilaian, dan penghargaan (misalnya terhadap karya seni)
2. pengertian puisi
puisi/pu•i•si/ n 1 ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait; 2 gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus; 3 sajak;
-- bebas puisi yang tidak terikat oleh rima dan matra, dan tidak terikat oleh jumlah larik dalam setiap bait, jumlah suku kata dalam setiap larik;
-- berpola puisi yang mencakupi jenis sajak yang susunan lariknya berupa bentuk geometris, seperti belah ketupat, jajaran genjang, bulat telur, tanda tanya, tanda seru, ataupun bentuk lain;
-- dramatik Sas puisi yang memiliki persyaratan dramatik yang menekankan tikaian emosional atau situasi yang tegang;
-- lama puisi yang belum dipengaruhi oleh puisi Barat, seperti pantun, gurindam, syair, mantra, dan bidal;
-- mbeling sajak ringan yang tujuannya membebaskan rasa tertekan, gelisah, dan tegang; sajak main-main;
berpuisi/ber•pu•i•si/ v membaca(kan) puisi;
memuisikan/me•mu•i•si•kan/ v membuat atau menggubah menjadi bentuk puisi: dia berusaha ~ gambar;
pemuisian/pe•mu•i•si•an/ n perihal mengubah (pengubahan) bentuk bahasa prosa menjadi puisi
Dari dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa apresiasi puisi merupakan bentuk kesadaran atau penghargaan terhadap nilai suatu ragam sastra yang dipilih secara cermat untuk mempertajam kesadaran akan pengalaman (tertentu).
Suatu apresiasi tidak muncul sendiri. Apresiasi diikuti dengan pemahaman atau pengetahuan atas obyek yang diapresiasi. Bagaimana memperoleh pemahaman atau pengetahuan tersebut disajikan dalam buku ini dalam bahasa yang sederhana dan tidak njelimet dengan teori-teori sastra. Dalam pembukanya, Sapardi menjelaskan bahwa ia berusaha menjelaskan alat atau muslihat yang biasa digunakan oleh penyair dalam puisinya. Apakah suatu alat tersebut adalah bagian dari teori atau merujuk pada teori sastra tertentu, bukan merupakan lingkup penjelasannya. Hal yang penting menurut Sapardi adalah pengenalan terhadap karya sastranya, bukan pada penyairnya, karena itulah yang mendasari penafsiran, penilaian, dan apresiasi itu sendiri.
Tadinya saya mau buat History Reading Challenge untuk "menghabiskan" buku-buku saya yang bertema sejarah. Namun, setelah blogwalking dan menemukan Evyta membuat reading challenge ini, saya langsung tertarik untuk mengikutinya. Ternyata setelah saya perhatikan buku-buku nonfiksi saya, tidak akan mungkin dihabiskan dalam program baca bareng BBI.
Rencana saya, saya akan membaca buku berjenis biografi, sejarah, filsafat, teologi, dan tambahan buku semacam Chicken Soup. Saya tidak mau agresif. Dalam setahun empat buku saja sudah luar biasa. Sejujurnya dalam memburu buku, saya lebih senang dengan nonfiksi karena "umur"nya tidak tergantung pada trend seperti buku-buku fiksi pada umumnya. Tentunya mereview buku nonfiksi adalah tantangan cukup besar. Seperti Buku Krakatoa karangan Simon Winchester, saya menghabiskan waktu kurang lebih sebulan mengumpulkan data-data lain di luar buku tersebut, serta membuat reviewnya. Demikian juga buku yang bernuansa Arsitektur seperti Medan Merdeka karangan Adolf Heuken, SJ, saya menelusuri kembali Jalan Medan Merdeka di seputaran Monas, untuk mengerti bangunan-bangunan yang ada di sana.
Dan biasanya, buku-buku seperti ini saling berkaitan dengan buku lainnya. Jadi akhirnya saya mulai berburu karangan Simon Winchester lainnya yang berkaitan dengan kota-kota maupun buku-buku tentang wilayah tempo doeloenya Batavia Adolf Heuken.
Jika Anda tertarik, sila berkunjung ke laman host reading challenge ini.
Semoga saya berhasil :)
Pertanyaan yang paling mendasar adalah apakah itu kolonialitas dan apa itu pascakolonialitas. Hal penting yang patut diingat adalah bahwa ketika Indonesia merdeka dari penjajah, bukan berarti negara Indonesia mulai dari nol seperti bayi yang baru lahir, melainkan sebagian besar masih melanjutkan tradisi, budaya serta warisan pemerintah penjajah sebelumnya. Hal penting dalam kajian kolonialitas adalah bagaimana bangsa penjajah (dalam hal ini bangsa berkulit putih) melihat bangsa jajahannya? Peristilahan Timur dan Barat, Dunia pertama dan Dunia Ketiga, merupakan pengklasifikasian/pembedaan bangsa dari sudut pandang orang kulit putih.
Lalu apa yang salah dengan hal itu? cara pandang orang Barat terhadap Timur adalah memandang bahwa Orang Timur adalah orang yang tertinggal, eksotis, patut diberi pencerahan, dan lain sebagainya. Persoalan mendasarnya adalah menganggap manusia Barat dan Timur tidak setara. Tidak hanya di dunia politik, tetapi juga di dunia ekonomi, militer, dan juga sastra-yang menjadi objek kajian Katrin Bandel, Doktor Sastra Indonesia dari Universitas Hamburg, Jerman. Situasi Orang Barat memandang dengan kacamata ketidaksetaraan terhadap Dunia Timur, menjadi kegelisahan tersendiri bagi Katrin. Dalam banyak situasi, orang Barat diuntungkan, tetapi Katrin mengambil sikap dengan tidak berdiri di posisi menguntungkan tersebut. Ia mengistilahkannya situasi tersebut dengan ambivalensi, yang diuraikan oleh Ahda Imran dalam Peluncuran buku ini di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, dengan :"simpati pada mereka yang tersisihkan oleh sistem yang mendominasi sambil menikmati posisinya yang sejuk nyaman yang disediakan oleh sistem itu."
Salah satu bentuk ekspresi orang yang khas adalah bercerita. Kita tertarik pada seseorang mungkin bukan karena tampangnya yang oke, namun kemampuannya bercerita. Sering kali cerita yang tampaknya biasa bagi orang lain, namun ketika seorang yang pintar meramu dan menceritakannya, cerita itu menjadi lebih menarik. Dalam cerita, kadang kala kita tidak peduli apakah cerita itu benar atau tidak. Kita sering terpesona dengan gaya penceritaan, alih-alih isi cerita itu sendiri.
Seberapa banyak dari kita yang tahu cerita apa yang terjadi pada awal masa kemerdekaan Indonesia. begitu banyak buku-buku Sejarah mulai dari bangku sekolah maupun sekarang menceritakan bagaimana sosok Soekarno dan rekan-rekan seperjuangan mendirikan dan memperjuangkan keberadaan Indonesia. Soekarno, adalah satu-satunya Presiden Indonesia yang pernah berpengaruh di dunia nasional maupun internasional pada masanya. Kewibawaan serta kepandaiannya berorasi memikat perhatian khalayak dalam negeri maupun luar negeri. Sikap politiknya yang keras terhadap Amerika dan Malaysia, namun lembek terhadap Partai Komunis dan ABRI, membuat orang-orang hingga saat ini masih penasaran dan ingin tahu bagaimana pemikiran-pemikiran Soekarno.
Wawancara Imajiner dengan Bung Karno
Penulis: Christianto Wibisono
Layout: Sukoco
Desain sampul: Hendy Irawan
Penerbit: PT Gramedia (2013)
ISBN: 978-979-22-8572-7
Judul: Sukarno, Orang Kiri, Revolusi & G30S 1965
Kumpulan tulisan: Onghokham
Penyunting: JJ Rizal
Penyelaras: Martina Safitry & Fadly Kurniawan
Desain Isi: Sarifudin
Desain Sampul: Hartanto "Kebo" Utomo
Cetakan pertama: April 2009
Penerbit: Komunitas Bambu
Tebal: xii + 220 hlm
ISBN: 9793731524
Bahasan mengenai peristiwa 30 September 1965 (menurut Ong lebih tapat menggunakan tanggal 1 Oktober 1965) tidak habis-habisnya. Tidak adanya klarifikasi resmi dari para pelaku sejarah, membuat kita semakin terjebak dengan prasangka yang tidak berdasar. Upaya melakukan rekonstruksi sejarah bukan tidak dilakukan. Namun, dokumen-dokumen terkait sangat terbatas, serta orang-orang yang dianggap menjadi narasumber utama yang diharapkan memberikan titik terang pengungkapan sejarah masa lalu sudah tiada. Alhasil, peristiwa G30S ini menjadi masih tanda tanya besar apa dan bagaimana penyebabnya. Padahal dampaknya cukup nyata.
Kumpulan tulisan: Onghokham
Penyunting: JJ Rizal
Penyelaras: Martina Safitry & Fadly Kurniawan
Desain Isi: Sarifudin
Desain Sampul: Hartanto "Kebo" Utomo
Cetakan pertama: April 2009
Penerbit: Komunitas Bambu
Tebal: xii + 220 hlm
ISBN: 9793731524
Bahasan mengenai peristiwa 30 September 1965 (menurut Ong lebih tapat menggunakan tanggal 1 Oktober 1965) tidak habis-habisnya. Tidak adanya klarifikasi resmi dari para pelaku sejarah, membuat kita semakin terjebak dengan prasangka yang tidak berdasar. Upaya melakukan rekonstruksi sejarah bukan tidak dilakukan. Namun, dokumen-dokumen terkait sangat terbatas, serta orang-orang yang dianggap menjadi narasumber utama yang diharapkan memberikan titik terang pengungkapan sejarah masa lalu sudah tiada. Alhasil, peristiwa G30S ini menjadi masih tanda tanya besar apa dan bagaimana penyebabnya. Padahal dampaknya cukup nyata.
Judul: Plato Ngafe Bareng Singa Laut: Berfilsafat dengan Anekdot
Judul asli: Plato and Platypus Walk into a Bar
Penulis: Daniel M. Klein dan Thomas Cathcart
Penerjemah: P. Hardono Hadi
Editor: Eresto & Dwiko
Desain Sampul: Bimalizer
Desain Isi: Damar & Marini
Penerbit: Kanisius (2011)
Tebal: x + 211 hlm
ISBN139789792127126
Mendengar atau membaca istilah filsafat biasanya membuat orang berpikiran bahwa filsafat adalah sesuatu yang dihubungkan dengan berpikir rumit. Padahal, berfilsafat adalah proses berpikir menemukan makna. Mungkin juga kesan yang ditimbulkan oleh buku-buku filsafat yang jauh dari kesan menarik dan ditujukan pada orang serius juga.
Lalu dimana kedudukan filsafat dalam dalam sejarah manusia? Sejak ribuan tahun lalu, banyak di benak orang-orang telah banyak muncul pertanyaan-pertanyaan yang ingin mengetahui bagaimana alam semesta dan isinya tercipta. Ilmu pengetahuan terus berkembang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kuno tersebut dan pencarian tersebut terus berlangsung sampai sekarang.
Judul asli: Plato and Platypus Walk into a Bar
Penulis: Daniel M. Klein dan Thomas Cathcart
Penerjemah: P. Hardono Hadi
Editor: Eresto & Dwiko
Desain Sampul: Bimalizer
Desain Isi: Damar & Marini
Penerbit: Kanisius (2011)
Tebal: x + 211 hlm
ISBN139789792127126
Mendengar atau membaca istilah filsafat biasanya membuat orang berpikiran bahwa filsafat adalah sesuatu yang dihubungkan dengan berpikir rumit. Padahal, berfilsafat adalah proses berpikir menemukan makna. Mungkin juga kesan yang ditimbulkan oleh buku-buku filsafat yang jauh dari kesan menarik dan ditujukan pada orang serius juga.
Lalu dimana kedudukan filsafat dalam dalam sejarah manusia? Sejak ribuan tahun lalu, banyak di benak orang-orang telah banyak muncul pertanyaan-pertanyaan yang ingin mengetahui bagaimana alam semesta dan isinya tercipta. Ilmu pengetahuan terus berkembang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kuno tersebut dan pencarian tersebut terus berlangsung sampai sekarang.
Judul: Cerita Segelas Kopi Lessons from Love, Life, and Loss
Penulis: Melanie Subono
Desain Sampul: Marsha Gratiana
Penerbit: Penerbit Qanita (PT Mizan Publika)
Tahun: 2011 (November)
ISBN: 9786029225334
Trimakasih kepada para pedagang Timur yang telah memperkenalkan kopi ke nusantara pada awal abad 17. Kopi ini juga yang menjadikan VOC tertarik untuk mengekspornya dari Batavia ke Eropa. Dan sampai sekarang, kopi tetap memesona dengan wangi dan rasanya. Ketika orang-orang membicarakan sesuatu topik obrolan dengan secangkir kopi, saya pernah bercakap-cakap dengan ibu saya ketika membuat kopi dari mulai biji ke menjadi bubuk kopi yang siap diseduh. Untuk komoditas yang sama dengan pengalaman berbeda.
Melanie menulis buku ini dari kumpulan tulisannya di blog pribadinya di sini Kegelisahannya tentang makna hidup yang berguna tergambar pada sebuah pertanyaan yang membuatnya ia terdiam: "Mba, kalau besok mati, mau diinget sebagai apa sama orang? Apa yang udah Mba lakuin slama ini?" hal itu mungkin selaras dengan apa yang dikatakan oleh Reshad Field: "Benar-benar mengetahui dan menerima bahwa tubuh ini mati, dan hanya inilah satu-satunya waktu yang kita miliki, adalah senjata paling dahsyat yang mungkin kita punya." Bicara perihal kematian, itu sesuatu yang pasti. Karena itu, memaknai hidup yang terbatas, Melanie berbagi hidup melalui tulisan.
Penulis: Melanie Subono
Desain Sampul: Marsha Gratiana
Penerbit: Penerbit Qanita (PT Mizan Publika)
Tahun: 2011 (November)
ISBN: 9786029225334
Trimakasih kepada para pedagang Timur yang telah memperkenalkan kopi ke nusantara pada awal abad 17. Kopi ini juga yang menjadikan VOC tertarik untuk mengekspornya dari Batavia ke Eropa. Dan sampai sekarang, kopi tetap memesona dengan wangi dan rasanya. Ketika orang-orang membicarakan sesuatu topik obrolan dengan secangkir kopi, saya pernah bercakap-cakap dengan ibu saya ketika membuat kopi dari mulai biji ke menjadi bubuk kopi yang siap diseduh. Untuk komoditas yang sama dengan pengalaman berbeda.
Melanie menulis buku ini dari kumpulan tulisannya di blog pribadinya di sini Kegelisahannya tentang makna hidup yang berguna tergambar pada sebuah pertanyaan yang membuatnya ia terdiam: "Mba, kalau besok mati, mau diinget sebagai apa sama orang? Apa yang udah Mba lakuin slama ini?" hal itu mungkin selaras dengan apa yang dikatakan oleh Reshad Field: "Benar-benar mengetahui dan menerima bahwa tubuh ini mati, dan hanya inilah satu-satunya waktu yang kita miliki, adalah senjata paling dahsyat yang mungkin kita punya." Bicara perihal kematian, itu sesuatu yang pasti. Karena itu, memaknai hidup yang terbatas, Melanie berbagi hidup melalui tulisan.